Setiap hujan turun, dua perasaan datang melingkupi saya sekaligus; bahagia dan was-was.
Bahagia, karena bagi saya rain makes everything better. Hujan selalu menghadirkan perasaan-perasaan yang terakumulasi menjadi rangkaian aksara. Ketika kemarau lama bertandang, sentuhan air langit pada wajah bumi menciptakan sensasi khas yang selalu mampu membuat mata terpejam dan menghidu aromanya; petrichor.
Dan bukankah hujan itu membawa berkah?
Manusialah yang acapkali mengubah berkah menjadi musibah.
Lalu, perasaan was-was?
Kalau hujan sudah terlalu lebat, saya takut selokan di depan rumah jebol, yang artinya rumah kami akan banjir lokal.
Teringat beberapa tahun silam rumah kami beberapa kali mengalami banjir, meski "hanya" bagian ruang tamu dan sebagian kamar belakang. Tahun terakhir malah kamar saya ikut kena icip lidah air meski (lagi-lagi) "hanya" sebagian depan pintu ke dalam.
Kurang lebih dua jam saya berdua kakak berjibaku menguras air waktu itu, tengah malam dimana orang sedang lelap-lelapnya. Sesekali kakak keluar rumah dengan payung di tangan - yang sebenarnya tak terlalu membantu karena begitu lebatnya air tercurah, membersihkan selokan dari sampah-sampah bawaan hujan yang turut menyumbang luapan air.
Alhamdulillah di antara kepenatan itu, terselip kenangan yang meski bikin panik saat kejadian, saat diingat-ingat selalu sukses melengkungkan kedua sudut bibir ke atas.
Klara, atau kami biasa memanggilnya Ala. Mahluk empat kaki berbulu satu itu begitu penasaran dengan genangan air. Kalau tidak segera diraih waktu itu, bisa dipastikan kucing 𝘨𝘦𝘮𝘰𝘺 itu sudah mempraktikkan bagian kedua peribahasa "berenang-renang ke tepian" entah sukses atau tidaknya.
Weh Island, 01-01-2022
No comments:
Post a Comment
Bebas komentar apa aja, asal sopan.
Tapi jangan nyepam. Ntar dihapus lho!