"Yaiikkk!" Refleks aku mundur menjauh. Jijik dan ngeri luar biasa. Gunting yang kupegang hampir terlepas dari genggaman.
Lelaki ini menunjukkan ular serupa kucing mempersembahkan tikus hasil tangkapan kepada tuannya, dengan wajah bangga dan menghamba.
"Take it awaayy!" seruku tertahan memejamkan mata dan memalingkan wajah. Ular adalah binatang yang paling tak ingin kulihat di dunia ini.
"Okay, dear." Ada rasa bersalah dalam suaranya. Kudengar suara kerikil terinjak dan langkah yang bergegas menjauh. Aku menghela nafas, menenangkan jantung yang berdegup kencang. Kutinggalkan rumpun mawar yang tengah kupangkas tadi. Duduk menghempas di bangku kebun dengan tangan yang masih bersarung dan memegang gunting.
Seumur hidup, sudah beberapa kali aku terpaksa melihat ular. Tapi tidak pernah aku sepanik tadi. Maksudku, sepanik apapun aku tetap bisa mengendalikan diri. Diam sambil terus melafadhkan kalimat-kalimat-NYA. Dan baru akan berteriak saat mahluk itu telah pergi.
Kuletakkan gunting di pangkuan, kubuka sarung tangan bercocok tanam. Setengah membungkuk kuselipkan keduanya ke dalam laci penyimpanan di bawah bangku setengah beton setengah papan ini. Tiba-tiba kerongkonganku terasa begitu kering. Baiklah, aku akan mengambil air di dapur.
Belum sempurna kutegakkan tubuh, kudengar kerikil yang kembali terinjak. Aku menoleh dan mendapatinya tengah melintasi halaman ke arahku, kali ini dengan tangan kosong. Kusambut ia dengan senyum lega.
"I am sorry, dear. I didn't mean..." Tatapannya membungkusku dengan permintaan maaf yang dalam.
Kedua tangannya menggantung di udara, seakan ingin tapi ragu untuk menyentuh kedua lenganku.
"Where is it?" Tubuhnya yang menjulang memaksaku mendongakkan kepala untuk membisikkan rasa ingin tahuku yang tertahan.
"What?" agak geli ia memandangku kini.
"The snake?" Aku kembali bergidik, tapi mengangguk pendek dan cepat.
"I let it go," lanjutnya tetap tersenyum
"Listen. I really don't know that you are afraid of snake. I have seen you as a brave woman. I never thought...."
"Yeaah," erangku. "Superwoman is still a human." Gayaku pasti sudah seperti pemeran wanita di DC Comics hingga ia kembali tertawa geli melihatku.
"Okay, my superwoman human," towelnya di hidungku yang mungil. "Sit down and wait here. I will bring you a glass of water. You must be thirsty after that fight with a snake monster," kerlingnya sambil terkekeh. Beranjak menuju pintu dapur kami, tak begitu jauh dari bangku yang kembali kududuki.
Aku duduk sambil tersenyum memandangi punggungnya. Lelaki half latin-ku, suami yang kunikahi tiga bulan lalu.
Bersambung...
Sabang, 15.05.2020