Ramadhan tanpa bukber atau bubar atau apapun bahasa yang dipakai untuk berbuka puasa bersama teman ataupun kerabat sepertinya sesuatu yang ngga mungkin ya? Bahkan buat yang tinggal sendirian sekalipun. Correct me If I am wrong, okay ? :-)
Bukber memang memberi kesan tersendiri. Teman - teman yang di luar Ramadhan terkadang sulit untuk kita temui, hampir selalu bisa kita temui di bulan ini. Seperti saya nih, bukber pertama di awal Ramadhan lalu, saya isi bersama beberapa teman. Yang satu baru bisa ketemu beberapa hari sebelum puasa, berhubung dianya baru selesai menamatkan kuliahnya di Norwegia. Sementara yang satu lagi, meskipun sekota, karena kesibukan masing - masing, kami jarang bisa bertemu kecuali saat - saat tertentu. Nah, teman yang lainnya lebih kurang sama. Tapi ada satu teman yang baru saya kenal pada acara bukber itu. Temannya teman? Bukan. Saya sendiri yang mengundangnya. Berhubung ini memang hajatan saya :-)
Teman yang baru pada hari bukber ini saya bertemu dengannya, sebenarnya istri dari kenalan yang sering berkunjung ke kantor tempat saya bekerja.
Bukber kali ini bukan bukber biasa, karena saya mengisinya dengan presentasi. Semacam "Home Sharing", yah begitu deh :-) Sambil menyelam minum susu, hehehe. Hitung - hitung belajar, sebelum saya melakukan presentasi yang lebih besar.
Tapi bukber yang ini kerasa banget ramenya, soalnya ada 3 ibu termasuk saya yang memboyong anak - anak. Total 5 anak sebanding dengan 5 orang dewasa yang hadir. Bukan cuma ibu, anaknya pun mendapat teman baru. Anak saya yang tunggal bahkan berat saat harus berpisah dengan teman - teman barunya.
Yang paling seru kalau bukber alumni. Semua teman tumplek blek jadi satu. Kalau begini satu mulut terasa kurang, hehe. Maklumlah ya, semua ingin kita ajak bicara. Sayangnya sudah lama saya ngga ngerasain bukber model begini. Setiap tahun, selalu saja saya berhalangan. Dan tahun ini sepertinya ngga ada yang ngadain. Mungkin Ramadhan depan kali ya?
Tapi bukber yang paling bermakna bagi saya tahun ini justru dari bukber yang sederhana. Bukan di kafe dengan menu yang lumayan mewah. Kami menamainya bukber malioboro :-)
Jadi ceritanya, dua kakak saya, satu kandung dan satu ipar, bersama temannya mengais rezki Ramadhan dengan berjualan takjil. Otomatis mereka ngga pernah buka puasa di rumah. Kakak saya yang satu lagi suka ikut bantuin juga, tapi buka puasanya tetap barengan saya di rumah. Sampe suatu waktu karena seringnya saya bukber di luar rumah, kakak saya yang merasa kesepian karena harus buka puasa sendirian bergabung dengan pasukan malioboro itu. Saya jadi penasaran. Pengen ngerasain seperti apa sih buka puasa di jalanan ?
Jadilah sepulang ngabuburit seperti biasa, saya mengajak junior saya untuk bukber barengan bude - bude, pakde, partner jualan dan anak-anaknya. Dan inilah sensasinya ;-)
1. Bukber di jalanan itu, kesabaran berpadu pelayanan. Saat orang lain sudah menikmati takjilan sepenuh rasa, kau masih harus melayani pembeli yang tergesa, namun tidak melunturkan syukur yang dirasa.
2. Bukber di jalanan, semuanya serba terbatas. Tidak ada menu papan atas yang bisa dipilih seperti halnya bukber di Kafe berkelas, misalnya. Tapi kebersamaan membuat semuanya puas.
3. Bukber di jalanan, tidak menjadi alasan untuk tidak berbagi. Betapa indahnya bertukar takjilan sesama penjual.
4. Bukber di jalanan tidak kalah seru dengan bukber alumni. Soalnya orang - orang lewat yang dikenal suka diajak mampir untuk bukber gratis. Dan di kota kecil seperti kotaku ini, hampir tak ada orang yang tak dikenal.
5. Salah satu cara untuk menghilangkan kesedihan dan kekurangan, adalah dengan menertawakan kesedihan dan kekurangan itu sendiri. Siapa sih yang ngga menginginkan buka puasa yang normal seperti orang kebanyakan ? Bukber di jalanan mengajarkan kita bersyukur, mengubah tangis menjadi tawa. Masih banyak kok yang berkekurangan, tapi itu ngga memupuskan tawa di raut wajah mereka, kan?
6. Bukber di jalanan, hanya dengan mengubah setting latar belakang dan lokasi dalam bayangan, kau sudah berada di tempat yang kau inginkan. Seperti halnya bukber malioboro ini. Tentu saja jauh dengan Malioboro aslinya di Jogja sana, tapi itulah kemampuan kita untuk menikmati suasana dalam segala kekurangan.
Bukber malioboro ini, membuatku dan putraku jadi ketagihan dan melanjutkannya di lain hari.
Itu ceritaku, mana ceritamu? ;-)
weii.. seru sepertinya, ngakak juga. masa satu mulut kurang, saking ramenya ya mba. heheheh. seru bacanya, ane kira si di jogja ternyata cuma suasananya aja ya karena di jalan. ehm, kalau ada fotonya mungkin lebih bisa mendramatisir suasana kali mba :D
ReplyDeleteAllahumma lakasumtu, wa bika aamantu, wa ala rizkika abthortu, birahmatika ya arhama rohimiin... buka buka buka..
ReplyDelete@Drieant Hehehe ... Sudah saya kira akan ada yang "tertipu" lagi, Drieant. Ini nih postingan yang terus trtunda itu. Ternyata sekarang saat yang tepat :-)
ReplyDelete@Kaze Kate Ayo ayo ayo ayo,,, silakan disantap hidangannya. Iya nih, udah lama ngga main di rumah Kaze,ntar saya ke sana ya :-)
ReplyDelete@Mirza Sharz Alhamdulillaah,,, Sayangnya pas saya baca ini untuk yang ke dua kali, masih pagi, jadi belum bisa buka, pak :) Kemarin saya mobile, serba terbatas, jadi baru sekarang bisa lengkap membalas semua komentar. Trims :)
ReplyDelete