Kalimat di atas kerap terucap ketika kita terlepas dan atau terlindungi dari suatu musibah. Betul tidak? 😊 Ungkapan yang wajar sebagai rasa syukur kita kepada Allah, kita kira.
Tapi, ketika musibah datang menimpa kita, apakah kita lantas merasa bahwa Allah tidak sayang?
Sahabatku...
Mari kita renungkan perumpamaan berikut...
Di sebuah sekolah yang terdiri dari beberapa kelas, setiap guru membimbing kelas sesuai tingkatannya masing-masing. Guru-guru tersebut dikenal kompeten di bidangnya dan sangat penyayang kepada semua muridnya.
Di setiap kelas, setiap murid memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang cepat menyerap pelajaran, ada yang rata-rata, dan ada pula yang lambat.
Ada murid yang memiliki kemampuan di bidang matematika, ada yang ahli bahasa, ada juga yang jago olahraga. Begitu seterusnya.
Ketika ujian dilaksanakan, sebagian murid bisa mengerjakan soal-soal dengan baik, sementara sebagian lainnya tidak.
Begitupun saat kenaikan kelas. Ada beberapa murid yang mendapat nilai pas-pas-an, buruk hingga harus menetap di kelas yang sama, alias tinggal kelas.
Guru-guru yang penyayang ini sedih bukan kepalang. Di satu sisi mereka ingin semua muridnya bisa mendapat nilai yang bagus dan naik kelas. Namun di sisi lain, mereka juga ingin para muridnya belajar bahwa hasil selalu sebanding dengan usaha. Sehingga anak-anak didik mereka belajar dengan giat untuk mencapainya.
Oke. Kita bisa berkomentar asal,
"Apa susahnya sih beri nilai yang bagus untuk semua murid?"
"Dinaikkelaskan saja semuanya, apa salahnya, sih? "
bla bla bla 😃
Sahabatku,
Kalau begitu halnya, untuk apa pula diadakan ujian? Toh hasilnya sudah ada? Betul, tidak? Ngapain repot-repot? Juga, sekalian aja, untuk apa sekolah, kalau ijazah bisa dibeli, misalnya. Duh! Serem nih 😁
Guru-guru yang sayang kepada anak didiknya, tak serta merta memberikan apa yang diinginkan (nilai bagus, naik kelas) jika murid yang bersangkutan belum berhak mendapatkannya
Itulah hidup.
Setiap kita memiliki ujian yang berbeda. Si A diuji dengan ini, si B berkutat dengan masalah itu. Kalau hari ini A dan B diuji, sementara C dan D "aman-aman saja", apakah itu berarti si C dan D saja yang disayang Allah, sementara si A dan B tidak?
Kita tahu jawabannya; tentu saja tidak.
Setiap kita diuji Allah, sesuai masanya. Hari ini mungkin bukan kita, esok lusa bisa jadi kita.
Kita diuji karena Allah sayang. Dan semua ujian yang diberi itu sesuai kesanggupan kita.
Kata-kata 'Alhamdulillah, Allah masih sayang' seyogyanya bukan hanya karena kita bersyukur, tapi juga mengasah empati kepada siapa yang diuji Allah hari ini.
Kasih sayang tak melulu tentang kelembutan, tapi juga kepedulian.
Salam,
Lizanovia M. Hadi
*Terinspirasi dari suatu "kecelakaan" kecil di Oktober 2017 😊