Kamis, 8 Juli 2010
Kematian memang selalu datang tanpa bisa kita duga waktunya, tapi ia pasti tiba.
Aku sedang membuat label harga di notebook-ku ketika teman sekantorku membawa berita itu. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun...Tidak menunggu lama kami segera melarikan kendaraan masing masing ke RSU, tempat ayah teman sekantor kami dirawat. Entah kenapa dadaku terasa sesak. Aku tidak sering merasakan demikian bila mendengar kematian, tapi bukan berarti aku tak punya hati.Tapi seingatku, selain kepergian orang tua dan anggota keluarga yang lain, hanya satu atau dua kali aku merasa sedih sesedihnya akan kematian orang lain. Saat itu ayah teman sekelasku yang meninggal. Kami berteman cukup dekat. Murni teman. Tapi pada hari itu aku tidak dapat menahan tangisku. Aku menangis seolah akulah yang ditinggalkan ayahku.
Aku sedang membuat label harga di notebook-ku ketika teman sekantorku membawa berita itu. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun...Tidak menunggu lama kami segera melarikan kendaraan masing masing ke RSU, tempat ayah teman sekantor kami dirawat. Entah kenapa dadaku terasa sesak. Aku tidak sering merasakan demikian bila mendengar kematian, tapi bukan berarti aku tak punya hati.Tapi seingatku, selain kepergian orang tua dan anggota keluarga yang lain, hanya satu atau dua kali aku merasa sedih sesedihnya akan kematian orang lain. Saat itu ayah teman sekelasku yang meninggal. Kami berteman cukup dekat. Murni teman. Tapi pada hari itu aku tidak dapat menahan tangisku. Aku menangis seolah akulah yang ditinggalkan ayahku.
Di lain waktu, suatu musibah besar menimpa penduduk kotaku. Kecelakaan kapal laut telah merenggut nyawa ayah dan kakak lelakiku bersama ratusan penumpang lain. Aku tidak mengerti bagaimana waktu itu aku bisa melewati ujian catur wulan dengan tangan gemetaran menuliskan jawaban dan dengan nilai sangat memuaskan. Mungkin karena itu musibah bersama, sehingga aku tidak boleh merasa sedih sendirian. Aku merasa kesedihan yang amat dalam akan takdir yang ditetapkan Allah untuk teman sekelas yang kehilangan seluruh keluarganya, sementara teman - temanku malah tidak mengetahui kalau aku pun dalam takdir yang sama.
Dan hari ini, sesampainya di Rumah Sakit, pertahananku bobol begitu kulihat mendung menggayuti mereka yang ditagih janji-Nya.Dan kulihat sungai mengalir dari sepasang mata temanku. Hanya karena dia lelaki maka aku tidak bisa memeluknya tuk menyatakan perasaanku. Tapi aku mengenali ibunya, dan pada wanita senja itulah aku labuhkan dekapanku, tanpa kata. Dalam keadaan demikian seringkali kata - kata tidak diperlukan.
Tak lama jenazah pun dibawa pulang untuk difardhukifayahkan. Tak banyak yang bisa kuceritakan karena aku lebih sering terdiam. Padahal seharusnya aku bisa melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Mungkin bukan dengan tanganku, tapi lisanku. Entahlah, aku merasa lumpuh. Seperti ada beban di punggungku. Dan sesekali aku kembali tak dapat menahan kaca - kaca di mataku.
Teman - teman sekantor lain datang. Mereka ini teman - teman sekantor tapi tidak dalam gedung yang sama. Karena waktu shalat pun sudah tiba dari tadi, aku dan dua orang teman wanita mohon izin. Setelah mengambil perlengkapan yang sengaja kutinggal di kantor, aku pulang dan segera menunaikan shalat ashar. Duh Allah! Kusadari selama ini aku terlalu pelit tuk mengirim doa untuk orang - orang yang bukan siapa - siapaku. Padahal tak jarang dari merekalah aku juga mendapatkan pelajaran dan peringatan. Seperti hari ini. Aku diingatkan lagi akan pentingnya mengingat mati. Sering - seringlah mengingat mati, karena dengan sering mengingat mati maka hati akan menjadi lembut dan terhindar dari penyakit hati.
Hari ini, Allah telah mengingatkanku, lewat orang yang bukan siapa-siapaku, tanpa menjalin kata dan bahkan tanpa kutahu wajahnya!
Teruntuk Hendra Saputra dan keluarga. Semoga diberi-Nya kekuatan, ketabahan dan kesabaran menghadapi Kehendak dan suratan-Nya
No comments:
Post a Comment
Bebas komentar apa aja, asal sopan.
Tapi jangan nyepam. Ntar dihapus lho!