Siang tadi saya pergi kondangan di daerah rumah lama masa SMP hingga awal SMA dulu. Meski sering lewat daerah ini, tapi nggak sampai ke dalam-dalamnya. Makanya baru tadi saya melihat kembali peninggalan rumah tempat tinggal kami sekeluarga dulu.
Rumah Karang, begitu dulu kami nyebutnya, karena memang berdiri di atas karang, dengan posisi lebih tinggi dari rumah-rumah di sekitarnya. Kini hanya tinggal pondasi dan tangga batunya saja.
Banyak kenangan terukir di sana; tentang ibu, bapak, kehidupan bertetangga, persahabatan, hingga kenangan cinta monyet masa remaja.
Saya masih ingat betul, ketika malam tiba, saya akan belajar dibantu penerangan lampu teplok. Saat itu memang belum ada sambungan listrik. Bahkan untuk air pun kami sempat membayar ke tetangga, sebelum kemudian memasang sambungan PAM sendiri.
Saya belajar di ruang tengah yang juga merangkap ruang makan. Dengan meja merapat ke dinding, di kiri saya adalah ruang depan berdampingan dengan kamar pertama, di kanan saya ada pintu menuju dapur dan kamar mandi.
Di ruang tengah ini, di kiri belakang saya ada lemari pakaian, di kanan belakang ada lemari makan. Sementara di tengah-tengahnya adalah pintu kamar kedua yang memuat dua ranjang dan satu lemari pakaian.
Rumah Karang ini begitu kecil, tapi kami hidup bahagia di sana, meski seringkali pas-pasan dalam segalanya.
Malam hari selepas waktu maghrib ataupun isya, kami akan duduk di tangga batu. Bercengkrama bersama tetangga sebelah, sembari mendengarkan sandiwara radio yang jadi favorit masa itu. Rumah ini memang terdiri atas 2 pintu yang dihuni 2 keluarga.
Dari tangga batu ini pula saya suka menyaksikan bintang bertaburan bagai permata di langit malam. Ketika mengingat pelajaran di sekolah, saya akan mencari-cari di mana rasi bintang biduk, layang-layang maupun scorpio.
Kebahagiaan menatap langit malam kala itu sungguh tak bisa dibandingkan dengan menatap gadget hari ini.
Ada rasa luas, ada rasa lapang di jiwa.
Ada banyak kenangan tertinggal, ada banyak untaian aksara tercipta di sana.
Bahkan puisi tentang kepulangan ke negeri akhirat saya tuliskan di Rumah Karang ini, tepat sehari sebelum kepergian bapak dan abang tercinta dalam tragedi tenggelamnya KMP Gurita.
Rumah Karang memang tinggal pondasi dan tangga batunya saja. Namun apa yang pernah terukir di sana, akan abadi selamanya.
Sabang, 11.11.2023
Untuk Bapak, Ibu, dan Abangku tercinta.
Semoga mendapat tempat terbaik di sisi-NYA.